
Campaign Netflix soal “Tanpa Reza Lagi” sempat viral karena lucu dan satir, tapi sebenarnya di balik kesederhanaan visual dan copywriting-nya, campaign ini menyimpan strategi marketing yang dalam dan sangat terstruktur. Kalau kamu digital marketer, content creator, atau brand strategist, ini bukan cuma bahan ketawa—tapi juga pelajaran berharga.
Di artikel ini, kita akan bedah bareng 4 teori marketing yang bekerja di balik campaign Netflix tersebut. Tujuannya sederhana: biar kamu bisa menerapkan insight serupa untuk brand kamu sendiri. Yuk, kita mulai.
1. Category Entry Point (CEP)
Sumber: Jenni Romaniuk – Ehrenberg-Bass Institute
Category Entry Point (CEP) adalah momen atau konteks yang membuat seseorang mengingat sebuah brand, bukan karena mereka sedang mencari brand itu, tapi karena brand tersebut hadir dalam situasi yang relevan.
Netflix tidak menyapa audiens dengan, “Nih film baru yang keren.” Mereka masuk dengan sindiran yang sangat relate:
“Reza lagi? Reza lagi???”
Pernyataan ini lucu, tapi juga mengandung keresahan nyata dari publik. Banyak penonton yang mulai merasa jenuh dengan aktor yang muncul berulang-ulang di film Indonesia. Netflix menangkap momen itu dan menawarkannya sebagai jalan masuk ke dalam percakapan.
Pelajaran buat kamu: Coba pikirkan kapan brand kamu bisa muncul secara relevan. Apakah saat audiens bosan? Bingung? Frustrasi? Temukan “entry point” itu, dan kamu akan lebih mudah nyambung dengan mereka.
2. Distinctive Brand Assets (DBA)
Sumber: Byron Sharp – How Brands Grow
Meski kampanye ini membahas “film tanpa Reza”, Netflix tidak kehilangan identitas visual dan tone brand-nya. Justru, mereka memanfaatkan kampanye ini untuk tetap menjaga konsistensi:
- Gaya visual ala poster penghargaan
- Warna merah khas Netflix
- Nada suara yang sarkas tapi elegan
Brand asset ini adalah cara untuk menjaga brand tetap diingat meskipun kampanye-nya berubah-ubah. Netflix bisa eksperimental, tapi tetap mudah dikenali.
Pelajaran buat kamu: Kampanye bisa fleksibel, tapi elemen visual seperti warna, tone, dan style harus dijaga. Jangan setiap campaign punya gaya yang beda total. Nanti, orang bingung ini brand siapa.
3. Cognitive Dissonance Theory
Sumber: Leon Festinger (1957)
Cognitive dissonance terjadi saat seseorang merasa tidak nyaman karena dua hal yang mereka percayai bertentangan. Dalam konteks ini:
“Film Indonesia itu bagus, tapi kenapa aktornya itu-itu terus ya?”
Penonton menghadapi konflik internal. Mereka ingin mendukung industri film lokal, tapi juga merasa jenuh dengan pemain yang sama. Netflix tidak frontal menyerang aktor tersebut, tapi mereka menawarkan solusi:
“Nih film lokal bagus, tapi tanpa Reza.”
Dengan begitu, audiens bisa menonton tanpa merasa bersalah atau jenuh. Netflix mengurangi disonansi mereka dengan memberikan opsi yang menyegarkan.
Pelajaran buat kamu: Kalau kamu bisa bantu audiens menyelesaikan dilema mereka, kamu akan dianggap sebagai brand yang membantu, bukan cuma jualan.
4. Cultural Resonance
Sumber: Douglas Holt – Cultural Branding + Prinsip Meme Marketing
Kampanye Netflix ini bukan cuma lucu. Ia menyentuh sisi budaya populer, bahkan menjadi bagian dari meme nasional. Kalimat “Reza lagi, Reza lagi???” sudah seperti bahan obrolan sehari-hari.
Ini adalah contoh dari cultural resonance, yaitu ketika sebuah brand bisa mengekspresikan perasaan kolektif masyarakat. Dalam hal ini: kejenuhan terhadap representasi yang monoton di media.
Netflix mengemasnya dengan nada yang ringan dan shareable. Alhasil, kampanye ini jadi viral, masuk ke thread Twitter, konten TikTok, bahkan diskusi film di forum-forum online.
Pelajaran buat kamu: Relevansi budaya itu penting. Ketika kamu bisa ngomongin hal yang “gue banget” buat audiens, kemungkinan konten kamu dibagikan akan jauh lebih besar.
Contoh Penerapan di Brand Lain
Category Entry Point:
- Minuman sehat → saat orang baru selesai olahraga
- Kursus online → saat orang lagi galau habis ditolak kerja
- Produk skincare → saat ada event penting minggu depan
Distinctive Brand Assets:
- Spotify → warna hijau dan layout UI-nya
- Kompas.id → tone netral, warna merah-biru, dan headline tajam
- Teh Botol Sosro → bentuk botolnya yang ikonik
Cognitive Dissonance:
- Edu platform: “Pengen belajar, tapi nggak punya waktu” → Tawarkan video 5 menit
- Fitness brand: “Mau langsing tapi nggak suka olahraga berat” → Promosi gerakan ringan
Cultural Resonance:
- Platform freelance: “Kerja keras tapi kliennya gitu-gitu aja”
- Brand makanan: “Makan enak tanpa rasa bersalah”
Recap 4 Teori yang Bekerja di Campaign Netflix
- Category Entry Point → Masuk dari momen yang audiens alami
- Distinctive Brand Assets → Branding tetap konsisten di tengah eksperimen
- Cognitive Dissonance → Mengobati keresahan atau pertentangan batin audiens
- Cultural Resonance → Jadi bagian dari obrolan, bukan sekadar iklan
Kesimpulan: Bisa Kamu Terapkan Juga
Campaign ini bukti bahwa strategi yang dalam bisa tetap tampil ringan. Netflix tidak perlu edukasi panjang-panjang. Mereka cukup mengangkat keresahan yang relate dan menyampaikannya dengan gaya yang santai.
Dan kamu juga bisa lakukan hal yang sama. Kuncinya ada di memahami:
- Apa yang lagi dirasakan audiens?
- Momen apa yang bisa kamu masuki?
- Apa elemen brand kamu yang harus konsisten?
- Bagaimana konten kamu bisa jadi bahan obrolan?
Kalau kamu bisa menjawab itu, bukan cuma campaign kamu yang menarik. Tapi brand kamu bisa lebih diingat, dipercaya, dan akhirnya… dibeli.
Bonus: Mau Belajar Bikin Campaign Kayak Gini?
Kamu bisa gabung ke komunitas Remarketing, dengan jadi member Remarketing.
